Derita di Bulan September
oleh Widya Putri Puspita
Aku pernah merasakan sentuhan hangat bertubi-tubi dari orang terspesial yang sempat datang menghampiriku, namun apa yang ku rasakan itu tidak lama. Tapi, aku juga pernah terdampar oleh kesakitan yang bertubi-tubi oleh orang yang sama. Orang yang pernah mengukir masa-masa indah di kehidupanku, namun orang itu juga yang menghancurkannya dengan seketika.
Kebahagiaan yang aku alami tidak membawa kebahagiaan yang sesungguhnya dalam hidupku. Aku tidak tahu kapan akan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin ada benarnya, kalau kita dipertemukan bukan untuk kebahagiaan, tetapi untuk saling menguatkan.
Ini seperti mimpi buruk yang menghantuiku setiap waktu. Aku yang hendak ingin berlari, namun kaki ku seperti tertahan di tempat ku berpijak saat ini. Tak bisa berlari bahkan bersembunyi kemana pun. Dimana malam berganti pagi yang membangunkanku dari mimpi-mimpi menakutkan itu. Pagi ku hening dan tidak merasakan sentuhan pagi yang bersahaja di bulan ke-9 yang paling menyebalkan, yaitu September. Aku benci September. Benci sekali.
Bagiku, September menjadi bulan paling menakutkan sepanjang sejarah di kehidupanku. Mungkin, aku adalah salah satu dari ribuan bahkan jutaan orang yang tidak menyukai bulan kramat itu. Bukan hanya itu, aku selalu menanggalkan kalender ketika bulan September tiba. Tidak butuh banyak alasan ketika aku benar-benar tidak menyukainya.
Kini, aku masih sendiri dan hanyut dalam keramaian kota. Sepi, bahkan terasingkan dari orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku. Sepi yang menghampiriku, tak selalu membawa peruntungan bagi diriku. Aku kelelahan menunggu sesuatu yang indah datang menjemputku kembali. Aku tidak mau lagi membahas apa yang terjadi pada bulan September yang lalu. Hari-hari ku masih terlelap oleh bayangan kesendirian yang membuntuti ku dari belakang hingga saat ini. Belum ada tanda-tanda akan kesendirian yang ku tunggu berbuah manis. Ya, belum kunjung tiba.
Aku masih terbaring lemah menunggu penantian masa depan. Masa depan yang indah adalah dambaan semua orang tentunya. Aku tidak bisa memprediksi masa depan ku seperti apa dan dengan siapa aku akan bersanding. Pasti, hal itu adalah hal yang selalu ada dipikiran orang-orang yang ingin sekali mengetahui masa depan di kemudian hari. Tak habis-habisnya aku berpikir dan tak jarang seperti awan hitam mulai membentuk gumpalan-gumpalan kecil di atas kepalaku. Sepertinya, otak ku yang ku pakai untuk berpikir mulai terasa panas dan akhirnya terbakar. Butuh seseorang untuk memadamkannya. Entah itu pemadam kebakaran atau bukan. Tapi siapapun, tolonglah aku…
Satu per satu, mawar yang menghiasi kamar tidurku mulai menjatuhkan kelopaknya dengan lembut. Jatuhnya kelopak itu terasa sia-sia. Waktu terus berjalan, namun penantian tak kunjung berdatangan. Hingga akhirnya, tersisa satu kelopak utuh dan berdiri tegap begitu cantiknya. Kapan kelopak itu akan jatuh secara sia-sia juga? Entahlah…
Kebencianku terhadap bulan September menimbulkan banyak pertanyaan. Aku tak mau menjawabnya, biar mereka tahu dengan sendirinya. Setiap hari, pertanyaan muncul dengan pertanyaan yang sama. Lelah mendengarnya. Rasanya aku harus mengasingkan diriku jauh-jauh dari muka bumi ini. Aku mulai muak dengan kegilaan ini.
Hari, jam, menit, hingga detik sudah aku lalui terbuang dengan percuma. Mawar yang menghiasi kamar tidurku sudah tertinggal tangkai seorang diri. Kelopak terakhirnya ternyata jatuh dengan sia-sia juga. Aku tak tahan kalau setiap harinya harus aku lalui dengan murung seperti ini. Entah, orang yang dulu pernah datang dikehidupanku, akan merasakan apa yang aku rasakan atau tidak. Aku tidak tahu.
Derita yang aku alami dibulan September begitu rumit dan sungguh menakutkan. Ketika aku tidak dapat menahan tangisku, tetesan air hujan menghujamku begitu deras dan kuat. Tak disangka, alam mendukungku dan mengerti keadaanku saat ini.
Disaat aku sudah lelah dengan bulan September, aku mendapati kabar bahwa orang yang paling menyebalkan bahkan aku benci itu, sudah mendapati seorang perempuan cantik yang aku sendiri tidak ingin menyebutkan namanya. Aku terheran. Mengapa lelaki lebih cepat untuk berpindah ke lain hati, sedangkan seorang wanita hanya bisa duduk meratapi masa lalunya yang kelam dan masih untuk tetap menjaga perasaannya?
Aku tak bisa lagi membendung kekesalanku saat itu. Ternyata, orang yang aku benci selama ini tidak merasakan apa yang aku rasakan. Aku terlalu kesal akan hal itu. Kebanyakan dari lelaki hanya bisa mengumbar perasaan kepada wanita, tanpa lelaki itu tahu bahwa ada orang yang diam-diam masih menjaga perasaannya demi orang yang dibencinya. Dengan kata lain, masih dibenci. Ya, dibenci.
Menerima kenyataan itu memanglah tidak mudah. Kesabaran apalagi yang harus aku kerahkan untuk menghadapi masalah seperti ini. Aku berharap ada hidayah dari permasalahan yang aku dapatkan di bulan September. Sekali lagi, aku benar-benar tidak menyukai bulan September. Ya, September.